Jangan Pernah Menyerah
by
Asmanadia Hidayat
- 7:24:00 PM
Depok, 21.01.2017
Jika kilas balik ke 5 tahun yang lalu, saat itu adalah saat dimana diri ini sedang berjuang, berusaha meraih mimpi-mimpi yang sudah disusun rapi. Waktu itu, setelah Ujian Nasional. aku berencana untuk melanjutkan kuliah di UI jurusan gizi. Awalnya ingin sekali jurusan kedokteran di UNPAD, tapi aku langsung tau diri setelah mengetahui hasil TO berkali-kali di bawah standar jurusan kedokteran. Pada akhirnya aku memilih gizi UI dan IPB untuk tes SNMPTN. Dan.... hasilnya pun pada akhirnya mengharuskan aku untuk kuliah di jurusan yang lain. Aku sedih sesedih sedihnya ketika itu. Sebenarnya terpikirkan waktu itu untuk daftar di universitas swasta jurusan kedokteran. Tapi melihat keadaan ekonomi yang saat itu bisa dibilang tidak mencukupi, aku urungkan niatku untuk daftar disana karena aku sudah menghitung semua biaya perkuliahan dan biaya hidup yang harus orangtuaku keluarkan jika aku kuliah disana. Tidak tega jika mereka harus meminjam sana sini hanya untuk memenuhi biaya kuliah.
Jika kilas balik ke 5 tahun yang lalu, saat itu adalah saat dimana diri ini sedang berjuang, berusaha meraih mimpi-mimpi yang sudah disusun rapi. Waktu itu, setelah Ujian Nasional. aku berencana untuk melanjutkan kuliah di UI jurusan gizi. Awalnya ingin sekali jurusan kedokteran di UNPAD, tapi aku langsung tau diri setelah mengetahui hasil TO berkali-kali di bawah standar jurusan kedokteran. Pada akhirnya aku memilih gizi UI dan IPB untuk tes SNMPTN. Dan.... hasilnya pun pada akhirnya mengharuskan aku untuk kuliah di jurusan yang lain. Aku sedih sesedih sedihnya ketika itu. Sebenarnya terpikirkan waktu itu untuk daftar di universitas swasta jurusan kedokteran. Tapi melihat keadaan ekonomi yang saat itu bisa dibilang tidak mencukupi, aku urungkan niatku untuk daftar disana karena aku sudah menghitung semua biaya perkuliahan dan biaya hidup yang harus orangtuaku keluarkan jika aku kuliah disana. Tidak tega jika mereka harus meminjam sana sini hanya untuk memenuhi biaya kuliah.
Akhirnya aku memutuskan untuk daftar di Diploma III salah satu politeknik di Bandung, jurusan kebidanan. toh yang penting tetap jurusan kesehatan dan bisa membantu orang lain. Singkat cerita, lulus lah aku dijurusan tersebut. Waw! aku sangat kegirangan ketika itu, begitupun orang tua. Mereka senang karena akhirnya aku bisa kuliah juga tahun itu di jurusan kesehatan. aku sangat semangat di tahun pertama kuliah, meskipun pernah down ketika aku harus tidak lulus 4 ujian praktek. Ditahun kedua, masih sama, semua selalu lancar bagiku, perekonomian, perkuliahan, bahkan target menolong persalinan mudah aku dapatkan ketika itu. Aku benar-benar semangat.
Memasuki tahun ketiga, tiba-tiba aku diingatkan kembali tentang mimpiku untuk kuliah S1. Sempat ketika ibuku datang ke Bandung, kita pergi makan bersama, ketika berbincang diperjalanan, ibuku tiba-tiba membahas mengenai mimpinya yang terpendam. Sebenernya dia masih sangat menginginkan aku ini untuk menjadi seorang dokter, sampai-sampai dia menahan tangis mengungkapkannya, dan ingin aku mencoba lagi. Sayangnya itu tahun ketiga bagiku dan tidak mungkin lagi untuk mencoba mengingat persyaratan yang ada di kampus tersebut. Sebenarnya, aku sudah lupa, benar-benar lupa pada mimpiku untuk menjadi seorang dokter meskipun ibuku berkali-kali membahasnya. Aku sudah tidak tertarik lagi untuk menjadi seorang dokter setelah melihat pekerjaan mereka dengan mata kepalaku sendiri dan melihat segala konsekuensi yang mereka hadapi. Di tahun ketiga, aku mulai menuliskan mimpi-mimpi setelah aku lulus kuliah diploma. Aku ingin menjadi bidan yang profesional, ingin nantinya bisa bekerja di Kemenkes, ingin punya klinik sendiri, ingin bisnis ini dan itu. Semua aku tulis. Aku begitu semangat menyelesaikan tugas akhirku, sampai-sampai aku menjadi mahasiswa yang sidang pertama dan lulus pertama dengan nilai yang memuaskan.
Namun, setelah lulus, aku merasakan perbedaan, kebingungan, dan kehampaan yang nyata. Aku melamar pekerjaan. Berpuluh-puluh lamaran aku apply ke banyak RS dan klinik. sempat ada 1 RS yang memanggilku untuk interview dan tes tulis, tapi gagal. Tidak ada lagi yang memanggilku untuk interview dan semacamnya. Aku tidak memiliki networking saat itu. Orangtuaku pun bukan tenaga kesehatan. Aku kebingungan, aku sering murung dikamar memikirkan akan menjadi apa aku? aku belum bisa memberikan apapun untuk orangtua. Pengalaman yang banyak selama kuliah aku rasa sia-sia jika pada akhirnya sulit bagiku untuk mendapatkan pekerjaan, toh di kotaku saat ini untuk menjadi seorang bidan itu sulit. Sulit mendapatkan pekerjaan. Untuk buka praktik di rumah pun, bidan harus memiliki pengalaman bekerja di instansi dan sulit untuk bisa bekerja di instansi itu. Yang aku lihat sekarang, bukan lagi skill yang utama mereka lihat, namun uang dan uang. Miris sekali melihat dan merasakannya. Pedih.
Aku sempat melamar pekerjaan untuk menjadi guru bahasa inggris di bimbingan belajar. Hanya bermodalkan skor toeflku yang lumayan, mengajarlah aku di salah satu bimbel terkenal di Bandung. Tidak sampai sebulan, aku resign dengan berbagai pertimbangan dan ketidakbetahan yang sangat aku rasakan. aku kembali ke kotaku untuk apply ke RS dan bimbel. Lagi-lagi bimbel yang memanggil untuk interview dan micro teaching. Aku diterima menjadi pengajar di bimbel tersebut, namun dengan regulasi yang ada disana, aku sangat keberatan dan hatiku menolaknya. Kebingunganku semakin menjadi. Aku apply lagi berbagai pekerjaan yang mungkin bisa aku kerjakan, namun nihil. aku benar-benar merasakan kegalauan yang sangat. Mulai saat itu, aku bertekad untuk benar-benar melanjutkan kuliahku. Aku benar-benar ingin kuliah lagi, meskipun beberapa orang bilang sulit masuk ke universitas itu.
Sebenarnya aku sudah merancang ini sejak aku lulus kuliah D3. Aku merancang bagaimana agar aku bisa melanjutkan kuliah ke UI jurusan kesehatan masyarakat dengan segala mata pelajaran tes masuk yang ada. Aku belajar ke kampung inggris agar kemampuan bahasa inggrisku meningkat, agar aku bisa mengerjakan soal bahasa inggris. Aku belajar jauh-jauh hari. Aku benar-benar ingin kuliah di kampus UI. Aku ingin masa depan yang lebih baik, aku ingin diriku berkembang lebih baik lagi, karena aku merasakan ada yang kurang dan kehampaan yang terus menusuk hati ini.
Melanjutkan kuliah ini benar-benar keputusan yang aku pikirkan berkali-kali. Terlebih lagi biaya yang cukup mahal persemesternya. Dan ternyata ayahku saat itu akan berhenti bekerja karena sudah saatnya pensiun dari pekerjaan berat itu. Aku, saat itu hanya bisa menunggu kabar ayahku. menunggu dia apakah bisa membiayaiku kuliah di UI selama 3 tahun karena ayahku akan mengandalkan uang lebihnya hari hasil dia bekerja selama lebih dari 20 tahun. Aku memberikan rincian biaya kasar selama 3 tahun kuliah dan hidup di Depok kepada orangtuaku. Tetap saja aku harus menunggu. Aku tetap berusaha untuk belajar mempersiapkannya kalau-kalau pada akhirnya aku bisa kuliah disana.
Kabar bahagia itu aku terima, aku diperbolehkan melanjutkan kuliah di UI meskipun aku belum tentu lulus saat itu. aku tidak ingin memberatkan mereka. Jika mereka harus meminjam uang demi kuliahku, aku lebih baik tidak kuliah saja. orangtuaku sangat terbuka mengenai keadaan ekonomi kami, tidak ada yang mereka tutup-tutupi dari diriku. Alhamdulillah selalu ada jalan dari Nya :"
Aku belajar semaksimal mungkin, belajar di perpustakaan kota meskipun sendiri, jalan-jalan sehabis belajar sendiri, tidak ada mentor belajar, dan aku benar-benar menikmati proses itu.
sampai pada hari H tes masuk. ternyata SIMAK UI itu tidak mudah. Sebenarnya aku belum pernah mengikuti TO SIMAK UI sekali pun. Soal-soal SIMAK UI untuk ekstensi ini sama dengan pasca sarjana, dengan materi TPA (termasuk MTK dan B. Indonesia) dan bahasa inggris yang tipenya soal toefl, tapi lebih sulit dari soal toefl asli, karena aku baru saja mengikuti tes toefl pada bulan sebelumnya.
Tak terbayangkan bagiku bagaimana jadinya jika aku tidak lulus SIMAK UI itu. Apa yang selanjutnya harus aku lakukan? Aku hanya bisa pasrah ketika itu, hanya bisa percaya bahwa semua yang sudah terlewati dan terasakan akan berujung bahagia, dan semua yang sudah aku perjuangkan tidak akan pernah sia-sia. Aku sering membaca buku yang berisi demikian dan aku hanya bisa meyakini itu sembari berdoa dan meminta bantuan orangtuaku untuk sama-sama berdoa. aku hanya ingin membahagiakan mereka yang sudah bekerja begitu keras sejak aku dalam kandungan. Bahkan mereka harus berpisah ketika aku baru berusia 1 minggu karena jauhnya tempat ayahku bekerja. Mereka hanya bertemu setiap 2 tahun. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jauh dari seorang suami. Apalagi dulu belum ada telepon rumah dan handphone. Berkirim surat saja lamanya 1 bulan. Aku pun baru tahu sekarang bahwa ternyata ayahku bekerja hingga pagi setiap harinya. semua demi membesarkan aku dan menghidupi kami berdua (ibu dan aku). Aku, anak satu-satunya, seharusnya bisa membahagiakan ayah dan ibuku.
Waktunya tiba, aku tidak berani membuka web nya untuk melihat pengumuman itu. Sangat mendebarkan. Lalu, tiba-tiba temanku mengirim chat dan dia memberitahu bahwa aku lulus. Aku terdiam dan hampir tidak percaya. Orangtuaku sangat senang, bahkan aku baru pertama kali melihat ayahku menangis, saking kami bahagianya. Alhamdulillah, segala yang terlewati itu tidak sia-sia. Rasa sakit itu semua menjadi sebuah pelajaran berharga agar aku bisa menjadi lebih baik lagi sekarang. Semoga apa yang saat ini sedang aku perjuangkan berbuah manis. Semoga bisnis-bisnis sederhana yang sedang aku perjuangkan pun baik-baik saja dan berkembang lebih baik lagi agar aku bisa membantu orangtuaku untuk bisa membiayai hidup di Depok ini. Semoga aku bisa menginspirasi dan bisa memberikan kebermanfaatan bagi sebanyak mungkin orang di luar sana.